Perjalanan Bangsa Jepang Menuju Perang Dunia

Posted on February 15, 2020 by

Pada tahun 1895, kekaisaran Jepang mengejutkan dunia dengan kemenangannya saat melawat pasukan yang pasukan yang paling modern dari dinasti Qing. 10 tahun kemudian, dunia kembali dikejutkan oleh keberhasilan Jepang dalam mengalahkan kekaisaran Rusia. Sekalipun kemenangan itu bukanlah kemenangan pertama dari bangsa Asia melawan bangsa Barat terlebih jika para pemimpin seperti Atilla The Hun, Genghis Khan dan sebagainya juga dimasukkan.

Bagi Jepang, kemenangan itu tetaplah merupakan sebuah prestasi yang sangat membanggakan. Pada zaman dahulu kekaisaran Tiongkok seringkali dikenal sebagai negara yang sangat berkuasa di kawasan Asia. Militer Jepang tentu masih ingat, setelah berakhirnya era Sengoku Jidai, Jepang berhasil disatukan dibawah pimpinan Toyotomi Hidoyoshi. Ia kemudian memutuskan untuk menginvasi Tiongkok dengan menyerang Korea sebagai batu Pijakannya. Jepang tentu memiliki alasannya sendiri sehingga berani menantang negara terkuat di kawasan Asia itu.

Saat itu, militer Jepang terdiri dari para veteran perang era Sengoku Jidai. Sekalipun demikian setelah pertempuran sengit, mereka tetap kalah dari pasukan gabungan Korea dan Tiongkok. Bagi Jepang, kekalahan yang sangat memalukan tersebut berhasil terbayar dengan kehancuran pasukan terbaik yang dimiliki oleh Tiongkok dibawah dinasti Qing.

Kemenangan Jepang atas Rusia membuktikan keberhasilan dari restorasi Meiji dalam memodernisasi Jepang sebagai negara yang setara dengan kemajuan negara-negara barat. Saat itu Jepang melihat bagaimana negara barat dengan penguasaan teknologi yang lebih maju berhasil mengalahkan bangsa-bangsa lain dan mendirikan berbagai koloni diatas kemenangannya. Oleh karena itu Jepang yang berhasil memodernisasi negaranya menjadi negara industri berusaha mengikuti langkah-langkah bangsa barat demi memenuhi kebutuhan industrinya maupun mencapai kesuksesan diantara negara maju lainnya.

Kesempatan menghampiri kekaisaran Jepang saat dunia memasuki perang dunia I, jepang yang merupakan sekutu dari Inggris segera bergabung dengan Faksi Etente. Hal ini membuat royal navy dapat kembali ke Eropa dan memfokuskan perhatiannya dalam melawan faksi sentral. Setelah berakhirnya perang dunia I, sebagai imbalan atas bergabungnya jepang pada faksi Etente ia memperolah berbagai koloni yang dimiliki Jerman dikawasan Asia.

Kemenangan itu memastikan Jepang sebagai negara adidaya yang secara tidak langsung mengancam kepentingan berbagai negara Eropa yang memiliki koloni di Asia. Hal ini menarik perhatian dunia khusunya Amerika Serikat yang memiliki Filipina sebagai koloninya. Dengan mengatasnamakan perdamaian dunia, Amerika mengusulkan agar berbagai negara dengan sukarela membatasi perlombaan senjata khusunya di bidang angkatan laut.

Pada tahun 1922, usulan itu menjadi kenyataan dengan diberlakukannya konferensi angkatan laut Washington. Berbagai negara adidaya khusunya Inggris, Amerika dan Jepang setuju untuk membatasi perlombaan senjata yang mereka lakukan. Langkah ini diambil sebagai bentuk untuk mengurangi ketegangan dunia setelah perang dunia pertama, sekaligus untuk menghemat anggaran militer dari beragai negara tersebut.

Salah satu keputusan terpenting yang diambil dalam koferensi itu adalah pembatasan ukuran tonase dari kapal perang yang boleh dibangun khususnya oleh ketiga negara tersebut. Mereka memutuskan perbandingannya adalah 5 : 5 : 3, awalnya Jepang sempat meminta agar perbandingannya 10 : 10 : 7, namun usulan itu dengan segera ditolak oleh konferensi.

Kebijakan ini membuat kalangan-kalangan yang mendukung maupun berkepentingan dalam ekspansi militer Jepang menjadi tergangu. Terlebih perjanjian tersebut sama saja dengan memotong anggaran yang perlukan oleh militer khususnya di bidang angkatan laut. Kalangan pro militer segera menyebutnya sebagai langkah bangsa barat untuk menghina kekaisaran Jepang, khususnya ketika Jepang memperoleh bagian terkecil diantara perbandingan tersebut.

Terlepas dari segala ketidak puasan yang ada, para pemimpin Jepang yang saat itu sadar bahwa Jepang masih belum kuat bersedia mengalah dengan perjanjian tersebut. Sebenarnya Jepang juga memiliki masalahnya sendiri seperti meningkatnya jumlah penduduk dan keterbatasan sumber daya alam yang mereka miliki. Tahun 1900, populasi Jepang berjumlah 45 juta penduduk, sedangkan tahun 1920 populasinya sudah meningkat menjadi 57 juta penduduk.

Populasi penduduk yang semakin besar memaksa Jepang untuk menyediakan kebutuhan hidup bagi masyarakatnya. Jepang melihat bagaimana Eropa yang kondisinya mirip dengannya yaitu minim sumber daya alam berhasil menyelesaikan permasalahan tersebut dengan berperang dan membangun berbagai wilayah jajahan di berbagai benua. Selain itu Jepang juga merupakan negara yang terkena dampak dari depresi besar. Sebuah krisis yang terjadi pada tahun 1929 sampai 1930, krisis ekonomi global ini berhasil menghidupkan kembali semangat dari kaum-kaum nasionalis, ekspansionis, maupun militer yang sempat mereda setelah perang dunia pertama.

Jepang segera menjalnkan kebijakan ekspansionisnya dengan cara menyerang dan merbut wilayah dari negara lain. Diantara berbagai negara yang ada, pilihan Jepang jatuh kepada Tiongkok, sebuah negara yang saat itu masih terpecah belah dan terlalu sibuk dengan perang saudara. Pada tahun 1931, dengan menggunakan insiden Mukden, Jepang menyerang Tiongkok Utara atau Mancuria. Pada saat itu pasukan Tiongkok yang jumlahnya jauh lebih besar dibandingkan jepang justru mendapat perintah untuk memundurkan diri dan membiarkan wilayahnya jatuh ke tangan Jepang.

Zhang Xue Liang yang merupakan penguasa setempat sadar, sekalipun pasukannya menang jumlah mereka bukanlah tandingan dari pasukan Jepang yang lebih terlatih dan dipersenjatai dengan baik. Chiang Kai Shek, pemimpin dari partai Koumintang yang saat itu paling berkuasa di Tiongkok juga memiliki pemikiran serupa. Ia bahkan mengatakan Jepang hanyalah penyakit kulit, sedangkan komunis adalah penyakit jantung. Menurutnya pemerintah harus berjuang untuk menyatukan negara terlebih dahulu khususnya dengan mengalahka faksi komunis, kemudian negara baru berjuang mengalahkan Jepang.

Tahun 1933, liga bangsa bangsa atau LBB menyatakan Jepang sebagai agresor dalam insiden Mukden. Selain itu LBB juga tidak mengakui pemerintah Manchukua yang adalah negara boneka Jepang. LBB juga menekan Jepang untuk mengembalikan wilayah yang berhasil direbutnya dari Tiongkok. Menghadapi tekanan pihak LBB dan dunia internasional, Jepang meresponsnya dengan cara keluar dari keanggotaan LBB. Jepang merasa LBB yang saat itu dipimpin oleh Inggris dan Prancis berusaha menekan Jepang padahal mereka berdua juga menjajah bangsa lainnya.

Kejadian insiden Mukden membuat Jepang semakin agresif dan berusaha untuk mengulangi kejadian serupa, terlebih ketika Jepang merasa pihak LBB tidak memberikan reaksi yang serius atas berbagai tindakan tersebut selain tidak mengakui wilayah yang berhasil dikuasainya. Tahun 1937 Jepang kembali menggunakan cara lamanya dengan insiden jembatan Marcopolo sebagai alasan untuk menyerang Tiongkok. Uniknya tidak seperti insiden sebelumnya, sang naga yang sudah tertidur selama lebih dari tidurnya, kali ini terbangun dari masa tidurnya untuk bertempur dengan sengit melawan kekaisaran Jepang.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *