Category: Sejarah

Keperkasaan Jepang di Wilayah Asia Tenggara

Posted on February 15, 2020 by

Setelah melihat betapa besarnya keinginan Jepang untuk menguasai Tiongkok, berbagai negara barat akhirnya mulai menyadari bahwa koloninya di Asia Tenggara yang kaya akan sumber daya alam tidak lama lagi juga akan menjadi target Jepang. Jepang dalam militernya tentu membutuhkan berbagai sumber daya alam seperti minyak, biji besi, karet dan lain-lain untuk kebutuhan militernya. Beruntungnya sumber daya alam tersebut sangat melimpah di wilayah Asia Tenggara.

Ketakutan negara-negara Eropa menjadi kenyataan pada musim panas tahun 1940 dimana Jepang mulai datang ke Indocina yang sedang berasa dibawah kekuasaan Prancis dan mulai menguasai Vietnam Utara. Kesempatan ini dimanfaatkan Jepang dengan mulai mengkudeta satu per satu wilayah kekuasaan Prancis satu per satu di Indocina hingga ke selatan. Namun dengan cerdasnya, Jepang membiarkan beberapa wilayah administratif untuk tetap dikelola oleh Vichy Prancis dan hanya meminta akses militer ke wilayah Indocina dibawah kekuasaan Vichy Prancis.

Namun pada akhirnya Indocina seutuhnya menjadi milik Jepang, setelah kejatuhan Prancis di Eropa pada bulan Juni. Pada tahun yang sama, Jepang juga menandatangani Tripartie Pact dengan Italy dan Jerman. Perjanjian ini merupakan perjanjian defensif dimana tiga negara ini harus memberikan dukungan militer jika salah satu negara menerima serangan dari pihak luar.

Penyerangan Demi Penyerangan Jepang di Asia Tenggara

Invasi Indocina ini membuat Inggris, Belanda dan Amerika semakin khawatir. Inggris khawatir dengan Malaysia dan Singapura, Belanda khawatir dengan Hindia Belanda sedangkan Amerika dengan Filipina. Para sekutu mencoba melakukan usaha demi melemahkan Jepang agar mereka tidak dapat menginvasi koloninya di Asia Tenggara. Karenanya Amerika melakukan embargo terhadap Jepang yang membuat mereka memiliki keterbatasan sumber daya alam seperti minyak.

Namun embargo tersebut semakin mendorong Jepang untuk menginvasi Asia Tenggara, karena disinilah sumber daya alam tersebut didapatkan seperti minyak di Hindia Belanda dan biji besi di Malaya. Untuk menyerang Asia Tenggara, maka Jepang harus menghajar Filipina dan Hawai, karena jika tidak Amerika dapat melakukan serangan sayap. Alasan inilah yang membuat Pearl Harbor diserang dan dimulainya pelaksanaan invasi di beberapa bagian Asia Tenggara oleh Jepang pada akhir tahun 1941.

Pada tanggal 8 Desember 1941 satu hari setelah menyerangan Pearl Harbor, Presiden Franklin dari Amerika mengumumkan pernyataan perang terhadap Jepang. Karena Tripartie Pact, Jerman dan Italy menyatakan perang terhadap Amerika pada 3 hari kemudian. Dengan deklarasi perang ini, dapat dikatakan bahwa Amerika Serikat secara resmi sudah memasuki perang dunia ke 2. Hal ini justru membuat Jepang menjadi lebih ingin sigap dan cekatan untuk menghajar pasukan sekutu di Asia Tenggara, terlebih lagi para sekutu belum memiliki banyak waktu untuk berkoordinasi dengan baik.

Koordinasi yang tidak baik dan keegoisan masing-masing negara dalam mempertahankan wilayahnya, kelak akan menjadi kunci kemenangan Jepang di Asia Tenggara. Konflik kepentingan ini membuat para komando dari setiap negara tidak memiliki hubungan yang baik. Terlebih lagi, Jepang dengan sangat cepat sudah menginvasi tarakan, serta menguasai banyak wilayah di belahan Asia.

Melihat Jepang semakin meraja rela, sekutu meresponsnya dengan cepat mendirikan ABDACOM pada Januari 1942. ABDACOM dipimpin oleh marsekal Inggris yang bernama Sir Archibald Wavell, namun seperti yang sudah dikatakan sebelumnya, setiap negara memiliki kepentingannya masing-masing. Amerika bersi keras bahwa Filipina adalah daerah yang paling penting untuk dilindungi, Inggris berpilir bahwa Malaya dan Singapura yang terpenting, Belanda tak lain berpikir Hindia Belanda. Sedangkan bagi Australia, bahwa yang terpenting adalah bagaimana Jepang tidak bisa menginvasi Australia. Dengan itu Australia menginginkan pertahanan yang lebih kuat di bagian timur Asia Tenggara.

15 Februari 1942, Jendral Inggris Arthur Percival menyerah kepada jendral Yamashita. Hal ini berarti Inggris sudah kehilangan Singapura dan Malaya, ini juga merupakan kabar buruk bagi ABDA karena sumatera yang kaya akan minyak sudah ada di depang mata Jepang. Sekutu sadar bahwa Jepang mengincar persediaan yang berada di Hindia Belanda terlebih karena mereka sedang krisis bahan bakar. Maka jika sampai sumatera jatuh mereka akan melakukan taktik bumi hangus.

Hal ini membuat landasan terbangan pangkalan Benteng menjadi target utama dalam operasi Jepang demi melakukan transportasi perbekalan. Pada pertengahan Februari, Jepang sudah mendekati Palembang dan Plaju maka dari itu seperti yang sudah direncanakan taktik bumi hangus pun dilaksanakan. Jatuhnya sumatera membuat belanda panik karena Batavia yang berada di pulai Jawa sudah ada di depan mata Jepang dan akan menjadi target berikutnya.

Meskipun demikian, Jepang tidak menyerang pulau jawa secara langsung, mereka memfokuskan peperangan di daerah timur. Jika Jepang berhasil mengamankan daerah timur, pemerintah Hindia Belanda dapat terisolasi dari sekutunya terutama Australia dan semakin membut tekanan bagi Belanda untuk menyerah. Maka tanggal 17 Februari Timor Timur di serang oleh Jepang dan dua hari kemudian Jepang menghajar kota Darwin di Australia yang merupakan pelabuhan Australia serta mendarat di Bali pada hari yang sama.

Pada malam tanggal 19, lapangan terbang Denpasar telah jatuh dan peperangan di Nusa Tenggara berakhir dengan menyerahnya Belanda di Kupang pada 23 Februari 1942. Dengan ini maka Belanda secara efektif sudah terisolasi dari sekutu-sekutu lainnya dan mereka pun telah menyadari bahwa daerah yang sudah menjadi milik belanda selama 3,5 abad ini tidak lama lagi akan menjadi milik Jepang.

Sekutu lain seperti Amerika Serikat dan berfokus untuk menjarah apa yang ada sebelum Jawa dikuasai oleh Jepang. Salah satunya seperti timah yang dibawa ke Sri Lanka oleh kapal barang Colingsworth dan Belanda diberikan operasi penuh atas operasi pertahanan. Keliahatannya mungkin baik karena Belanda mendapatkan kekuatan penuh atas kontrol Hindia Belanda. Namun sebenarnya ini sama saja denganĀ  sekutu meninggalkan Belanda untuk berjuang sendiri. Hal ini juga dimaksudkan agar Jepang dapat berfokus menguasai Hindia dan sekutu dapat fokus mengisolasi Jepang agar tidak menaklukan wilayah lain.

Perwira Belanda harus berhadapan sendiri dengan jendral Imamura Hitoshi yang mendapatkan tugas untuk mengamankan Jawa. Pada malam 26 Februari 1942, perairan Surabaya diserang oleh tentara Jepang dan Hindia Belanda semakin terdesak dengan jatuhnya lautan Jawa dan Batavia. Jatuhnya Batavia membuat pertanda bahwa Hindia Belanda sudah jatuh. Maka dari itu Belanda menyerah tidak sampai 1 bulan sejak taktik bumi hangus di Plaju yakni pada tanggal 8 Maret 1942 di Kayu Jati.

Gubernur Jendral Hindia Belanda Tjarda Van Strakenborgh menyerah kepada para komandan tentara Jepang, setelah lebih dari 3 setengah abad berakhirlah penjajahan Belanda di Hindia Belanda. Amerika pun akhirnya juga menyerah di Filipina pada tanggal 6 Mei 1942, hal ini sangat memalukan karena Amerika sebagai kekuatan adidaya harus menyerah di Asia mengikuti Prancis, Inggris dan Belanda. Tentara Jepang di Asia sama seperti Jerman di Eropa yang terlihat tak terkalahkan.

Lenjen Jonathan Wainwright menyerahkan Filipina kepada Jepang. Sedangkan Jendral Mac Arthur yang terkenal kabur ke Australia karena sekarang hanya Australia yang menjadi tempat pengungsian bagi pemimpin komandan sekutu. Kemampuan Jepang yang sangat superior di Asia Tenggara tidak semata membuat sekutu kehilangan akal. Perang yang sementara telah dimenangkan oleh Jepang menimbulkan suatu titik balik dari panggung teater Pasifik dalam perang dunia ke II.

Pengaruh Tiongkok Bagi Kekaisaran Jepang (Part 2)

Posted on February 15, 2020 by

Mengatahui bahwa pasukan komunis memang sudah terkepung, Chiang memutuskan untuk pergi ke utara untuk melihat sendiri bagaimana pasukan Kuomintangnya mengalahkan pasukan komunis untuk terakhir kalinya. Menghancurkan komunis dan menyatukan negara dibawah partai Kuomintang merupakan impian utama dari Chiang sekaligus mandat terbesar dari dokter Sun Yat Sen yang juga adalah pendiri dari partai Kuomintang.

Tahu bahwa Chiang akan segera ke utara, para konspirator langsung menyusun rencana untuk menculik Chiang. Rencana itu berhasil, mereka bahkan menahan Chiang di markasnya sendiri dan memaksanya untuk bekerja sama dalam melawan invasi kekaisaran Jepang. Awalnya Chiang sangat marah dengan kelakuan dari para perwiranya, terlebih pada Zhang Xueliang yang tidak lain adalah saudara angkatnya. Chiang sampai berkata, jika mereka tidak memperlakukannya dengan hormat, mengapa tidak menembaknya saja.

Setelah Zhou Enlai hadir, ia juga berkata kepadanya, “Enlai bukankah kamu dulu adalah adik kelas sekaligus bawahanku di akademi militer?, sudah seharusnya kamu mengikuti segala perintahku”. Zhou menjawab, “Jika kamu mau mengedepankan kepentingan bangsa dalam melawan invasi Jepang, bukan saja diriku, melainkan segenap jajaran dari partai komunis dan juga pasukan komunis, semuanya bersedia mematuhi perintahmu”.

Setelah itu terjadi perdebatan panjang diantara para konspirator termasuk dari partai komunis. Banyak dari mereka yang menginginkan Chiang di eksekusi mati saja, namun diantara banyak perwiranya, Zhang dengan tegas membela saudara angkatnya dengan menegaskan bahwa tujuan utama mereka adalah menciptakan Tiongkok yang bersatu untuk melawan ancaman nyata dari invasi Jepang. Mengapa setelah Chiang tertangkap kalian ingin dia dieksekusi, apa bedanya kalian dengan Chaing jika seperti itu.

Chiang menghadapi dilema yang sangat sulit, sebagai pemimpin ia sangat menyadari bahwa dengan adanay kerja sama ini, faksi komunis bukan hanya tidak binasa, melainkan akan semakin kuat. Disisi lain ia juga menyadari sekalipun Kaumintang berhasil menguasai sebagian besar Tiongkok, Ageresi militer Jepang akan semakin menggerus hubungan rakyat ke Partai Kuomintang terlebih sudah menjadi rahasia umum bahwa Chiang adalah alumni dari akademi militer Jepang.

Chiang menyadari jika terus bertahan pada pendiriannya ia akan kehilangan seluruh dukungan rakyat, bukankah penghianatan militer yang dilakukan oleh Zhang Xueliang dan kelompoknya menjadi bukti bagaimana perwiranya sendiri muali tidak setuju dengan kebijakannya. Melalui berbagai kekalahan dan dilema, Chiang akhirnya setuju dengan tawaran tersebut, hal ini membuat partai Kuomintang untuk kedua kalinya bekerja sama dengan partai Komunis untuk melawan agresi militer Jepang.

Setelah negosiasi selesai, Chiang diterbangkan dari Xian menuju Nanjing yang saat itu merupakan ibukota Tiongkok. Dalam sejarah kejadian ini dikenal dengan sebutan insiden Xian, sesampainya di kota Nanjing Chiang dengan segera memerintahkan pasukannya untuk menangkap semua perwira yang terlibat dalam konspirasi itu. Ia memberi perintah untuk mengeksekusi mereka semua dengan pengecualian Zhang Xue Liang yang dijatuhi hukuman tahanan rumah.

Sekalipun banyak pihak termasuk Jepang yang merasa bahwa Chiang akan segera melancarkan serangannya kepada pihak komunis. Ia justru mengejutkan berbagai pihak dengan menghentikan upaya tersebut dan mengumpulkan para perwira militernya untuk membahas bagaimana berperang melawan agresi militer Jepang. Chaing ingin membuktikan bahwa dirinya merupakan pemimpin yang mau peduli dengan nasib masyarakat Tiongkok, Kuomintang tidak akan membiarkan 1 inci tanahnya dikuasai militer Jepang.

Para pemimpin Jepang yang awalnya mengira bahwa mereka akan segera mendapat kompensasi wilayah, atau akses terhadap sumber daya alam dengan memanfaatkan insiden jembatan Marcopolo justru mengumunkan dirinya pada perang total yang sangat mereka hindari. Militer Jepang berusaha menekan Kuomintang dengan menyerang Shanghai yang saat itu adalah pusat perekonomian Tiongkok. Chiang menjawab tantangan Jepang dengan mengirim lebih banyak pasukan militer termasuk divisi 87 dan divisi 88 yang saat itu merupakan pasukan terbaik yang dimiliki oleh Kuomintang.

Perang Shanghai yang awalnya diperkirakan Jepang sebagai perang yang mudah dimenangkan justru menjadi perang yang semakin berlarut-larut dan menghabiskan sumber daya dari Jepang. Di suatu kesempatan, divisi 88 dan divisi 87 bukan saja menahan serangan SNLF mereka bahkan berhasil memukul mundur pasukan itu. Melihat kenyataan itu, Jepang menyerang Shanghai dengan lebih gencar dengan menggabungkan antara serangan darat, udara dan angkatan laut.

Ketika akhirnya Shanghai berhasil dikuasai, perang ini sudah menghabiskan waktu Jepang selama lebih dari 3 bulan. Chiang membuktikan dihadapan internasional, Tiongkok yang bersatu tidak akan mudah tunduk dengan tekanan bangsa asing. Banyak jurnalis asing yang berada di kota Shanghai, melihat dengan mata kepalanya sendiri bertapa mengerikannya perang tersebut.

Mereka kemudian menerbitkan berita di negaranya masing-masing yang dengan cepat menekan opini internasional terhadap Jepang. Hal ini mempengaruhi keputusan dari berbagai negara untuk mengembargo kebutuhan dari industri Jepang yang secara langsung menekan militer Jepang untuk menghentikan invasinya ke Tiongkok yang dijuluki sebagai front timur versi Jepang. Menghadapi hal tersebut, Jepang kembali tidak tunduk dengan tekanan internasional dan memulai cara kasarnya kembali. Kali ini Jepang berusaha menyerang berbagai koloni yang dimiliki oleh negara-negara barat di Asia, suatu wilayah yang terkenal kaya akan berbagai bahan mentah. Ketika para penguasa Eropa sedang berfokus untuk melawan Invasi dari Jerman di Eropa.

Pengaruh Tiongkok Bagi Kekaisaran Jepang (Part I)

Posted on February 15, 2020 by

Tiongkok adalah negara yang selama ribuan tahun dipimpin dengan sistem monarki atau kekaisaran. Seorang pemimpin memirintah masyarakat dengan mandat surgawi, menurut konsep itu, seorang pemimpin dalam hal ini kaisar dipercayakan oleh penguasa langit untuk memimpin masyarakatnya menuju ke kehidupan yang lebih baik. Sekalipun demikian dipertanyakan setelah Tiongkok mengalami kekalahan melawan Inggris dalam perang Opium pertama yang terjadi pada 1839 hingga 1842.

Tiongkok yang awalnya merupakan negara yang sangat dihormati jatuh pada masa-masa yang dikenal sebagai abad penghinaan. Pada tahun 1850 hingga 1864 keadaan Tiongkok diperburuk oleh serangkaian pemberontakan khususnya yang bernama Tai Ping Tian Guo yang jika diterjemahkan sesuai namanya artinya adalah kerajaan surgawi yang penuh perdamaian. Namun tidak seperti namanya yang penuh perdamaian, keberadaannya justru menyebabkan konflik yang jauh lebih brutal dibandingkan pada masa-masa sebelumnya.

Sekalipun konflik tersebut berhasil dipadamkan oleh pasukan pemerintah, muncul pemeberontakan lain yang tidak kalah serius, yaitu pemberontakan boxer. Pemberontakan boxer adalah pemberontakan yang dijalankan oleh para ahli kungfu, walaupun terdengar sangat keren, para ahli kungfu ini bukan tandingan dari senjata modern yang digunakan oleh pasukan barat. Pada tahun 1911, Tiongkok mengalami revolisi yang dikenal sebagai revolusi Xinhai. Revolusi ini dengan cepat menyebar ke berbagai provinsi lainnya dan pada akhir berhasil memaksa kekaisaran Qing untuk turun tahta.

Revolusi tersebut masih diperingati baik oleh pemerintah RRT maupun oleh permerintah Taiwan atas keberhasilannya dalam mengubah Tiongkok yang awalnya berbentuk Monarki menjadi republik. Hal ini tidak terlepas dari seorang tokoh nasional yang bernama Sun Yat Sen. Ia adalah seorang dokter jenius sekaligus pemimpin politik yang sampai hari ini sangat dihormati baik oleh pemerintah Tiongkok sebagai tokoh revolusi, maupun pemerintah Taiwan sebagai bapak negara.

Tahun 1825, dokter Sun Yat Sen meninggal dunia karena penyakit kanker hati. Kematiannya meninggalkan Tiongkok yang masih terpecah belah dibawah kekuasaan para penguasa regional. Melihat Tiongkok yang masih terpecah belah, militer Jepang berusah mengambil kesempatan dengan kebijakan ekspansionisnya yang bertujuan untuk menguasai sumber daya alam Tiongkok dengan menggunakan pasukan kuantumnya.

Keadaan mulai berubah setelah Partai Kuomintang yang dipimpin oleh Chiang Kai Shek alias penerus dari dokter Sun Yat Sen berhasil menyatukan sebagian besar Tiongkok. Chiang kemudian berusaha mengkonsolidasikan kekuasaannya dengan membersihkan kader-kader yang dicurigai sebagai anggota komunis didalam tubuh Kuomintang. Setelah kebijakan pembersihan tersebut, relasi antara Tiongkok dan Uni Soviet semakin memburuk. Hal ini memaksa Chiang untuk menjalin hubungan baru dengan negara-negara Eropa lainnya khususnya Jerman.

Salah satu hasil diplomasi tersebut adalah kerjasama dibidang militer dimana Jerman bersedia mengirimkan para penasihat militernya untuk memperlengkapi dan melatih pasukan Kuomintang sesuai dengan standard pasukan Jerman. Sebagai imbalannya, Jerman memperoleh akses sumber daya alam murah dari Tiongkok yang sangat dibutuhkannya demi menunjang Jerman pasca perang dunia pertama.

Pada tahun 1937 terjadi insiden jembatan Marcopolo yang menyebabkan Tiongkok dan Jepang secara resmi berperang. Berkat kualitas persenjataan dan pelatihan yang lebih baik, pasukan Jepang berhasil mengalahkan pasukan perbatasan Tiongkok yang serba kekurangan di semua bidang. Hal ini terjadi karena Chiang berusaha menyimpan semua pasukan terbaiknya untuk mengalahkan faksi komunis terlebih dahulu.

Melihat situasi masih berlum berubah, Jepang percaya bahwa tiongkok akan mengambil langkah serupa seperti pada insiden Mukden yaitu menuruti segala tuntutan Jepang dengan memberikan kompensasi berupa wilayah, akses sumber daya dan sebagainya. Bukankah menurut Chiang, musuh utama dari Tiongkok yang paling berbahaya adalah komunis dan bukan militer Jepang.

Namun hal tersebut mulai berubah ketiak seorang perwira Kuomintang bernama zhang XueLiang, kecewa atas kebijakan Kuomintang. Ia merasa pemerintah Kuomintang tidak mempersiapkan militer untuk melawan invasi dari bangsa asing, melainkan justru memerintahkannya sebagai perwira untuk terus mengadakan operasi-operasi militer demi menghancurkan basis-basis dari partai komunis sampai ke akar-akarnya. Bagi Zhang, kebijakan tersebut sama saja seperti memerintahkannya untuk membunuh bangsanya sendiri.

Hal ini disadari oleh Zhou Enlai, anggota dari partai komunis China yang kemudian berusaha memanfaatkan kesempatan untuk mengadakan pertemuan rahasia dengan Zhang dan para pengikutnya yang awalnya merupakan penguasa dari wilayah Manchuria. Zhou Enlai menjelaskan bagaimana kebijakan Kuomintang untuk menghancurkan komunis terlebih dahulu harus membayar sejumlah kompensasi kepada Jepang yang sebenarnya adalah musuh utama dari Tiongkok.

Keduanya kemudian setuju untuk mencari solusi agar Tiongkok bisa bersatu dan melawan invasi dari militer Jepang. Disaat yang sama Chiang juga mulai curiga dengan perwiranya Zhang Xueliang, Ia heran bagaimana mungkin pasukan Zhang yang jauh lebih superior dibandingkan pasukan Komunis belum mampu menghancurkannya. Zhang berdalih pasukan komunis yang sudah terpojok tentu akan memberikan yang lebih sengit lagi dibandingkan masa-masa sebelumnya.

Perjalanan Bangsa Jepang Menuju Perang Dunia

Posted on February 15, 2020 by

Pada tahun 1895, kekaisaran Jepang mengejutkan dunia dengan kemenangannya saat melawat pasukan yang pasukan yang paling modern dari dinasti Qing. 10 tahun kemudian, dunia kembali dikejutkan oleh keberhasilan Jepang dalam mengalahkan kekaisaran Rusia. Sekalipun kemenangan itu bukanlah kemenangan pertama dari bangsa Asia melawan bangsa Barat terlebih jika para pemimpin seperti Atilla The Hun, Genghis Khan dan sebagainya juga dimasukkan.

Bagi Jepang, kemenangan itu tetaplah merupakan sebuah prestasi yang sangat membanggakan. Pada zaman dahulu kekaisaran Tiongkok seringkali dikenal sebagai negara yang sangat berkuasa di kawasan Asia. Militer Jepang tentu masih ingat, setelah berakhirnya era Sengoku Jidai, Jepang berhasil disatukan dibawah pimpinan Toyotomi Hidoyoshi. Ia kemudian memutuskan untuk menginvasi Tiongkok dengan menyerang Korea sebagai batu Pijakannya. Jepang tentu memiliki alasannya sendiri sehingga berani menantang negara terkuat di kawasan Asia itu.

Saat itu, militer Jepang terdiri dari para veteran perang era Sengoku Jidai. Sekalipun demikian setelah pertempuran sengit, mereka tetap kalah dari pasukan gabungan Korea dan Tiongkok. Bagi Jepang, kekalahan yang sangat memalukan tersebut berhasil terbayar dengan kehancuran pasukan terbaik yang dimiliki oleh Tiongkok dibawah dinasti Qing.

Kemenangan Jepang atas Rusia membuktikan keberhasilan dari restorasi Meiji dalam memodernisasi Jepang sebagai negara yang setara dengan kemajuan negara-negara barat. Saat itu Jepang melihat bagaimana negara barat dengan penguasaan teknologi yang lebih maju berhasil mengalahkan bangsa-bangsa lain dan mendirikan berbagai koloni diatas kemenangannya. Oleh karena itu Jepang yang berhasil memodernisasi negaranya menjadi negara industri berusaha mengikuti langkah-langkah bangsa barat demi memenuhi kebutuhan industrinya maupun mencapai kesuksesan diantara negara maju lainnya.

Kesempatan menghampiri kekaisaran Jepang saat dunia memasuki perang dunia I, jepang yang merupakan sekutu dari Inggris segera bergabung dengan Faksi Etente. Hal ini membuat royal navy dapat kembali ke Eropa dan memfokuskan perhatiannya dalam melawan faksi sentral. Setelah berakhirnya perang dunia I, sebagai imbalan atas bergabungnya jepang pada faksi Etente ia memperolah berbagai koloni yang dimiliki Jerman dikawasan Asia.

Kemenangan itu memastikan Jepang sebagai negara adidaya yang secara tidak langsung mengancam kepentingan berbagai negara Eropa yang memiliki koloni di Asia. Hal ini menarik perhatian dunia khusunya Amerika Serikat yang memiliki Filipina sebagai koloninya. Dengan mengatasnamakan perdamaian dunia, Amerika mengusulkan agar berbagai negara dengan sukarela membatasi perlombaan senjata khusunya di bidang angkatan laut.

Pada tahun 1922, usulan itu menjadi kenyataan dengan diberlakukannya konferensi angkatan laut Washington. Berbagai negara adidaya khusunya Inggris, Amerika dan Jepang setuju untuk membatasi perlombaan senjata yang mereka lakukan. Langkah ini diambil sebagai bentuk untuk mengurangi ketegangan dunia setelah perang dunia pertama, sekaligus untuk menghemat anggaran militer dari beragai negara tersebut.

Salah satu keputusan terpenting yang diambil dalam koferensi itu adalah pembatasan ukuran tonase dari kapal perang yang boleh dibangun khususnya oleh ketiga negara tersebut. Mereka memutuskan perbandingannya adalah 5 : 5 : 3, awalnya Jepang sempat meminta agar perbandingannya 10 : 10 : 7, namun usulan itu dengan segera ditolak oleh konferensi.

Kebijakan ini membuat kalangan-kalangan yang mendukung maupun berkepentingan dalam ekspansi militer Jepang menjadi tergangu. Terlebih perjanjian tersebut sama saja dengan memotong anggaran yang perlukan oleh militer khususnya di bidang angkatan laut. Kalangan pro militer segera menyebutnya sebagai langkah bangsa barat untuk menghina kekaisaran Jepang, khususnya ketika Jepang memperoleh bagian terkecil diantara perbandingan tersebut.

Terlepas dari segala ketidak puasan yang ada, para pemimpin Jepang yang saat itu sadar bahwa Jepang masih belum kuat bersedia mengalah dengan perjanjian tersebut. Sebenarnya Jepang juga memiliki masalahnya sendiri seperti meningkatnya jumlah penduduk dan keterbatasan sumber daya alam yang mereka miliki. Tahun 1900, populasi Jepang berjumlah 45 juta penduduk, sedangkan tahun 1920 populasinya sudah meningkat menjadi 57 juta penduduk.

Populasi penduduk yang semakin besar memaksa Jepang untuk menyediakan kebutuhan hidup bagi masyarakatnya. Jepang melihat bagaimana Eropa yang kondisinya mirip dengannya yaitu minim sumber daya alam berhasil menyelesaikan permasalahan tersebut dengan berperang dan membangun berbagai wilayah jajahan di berbagai benua. Selain itu Jepang juga merupakan negara yang terkena dampak dari depresi besar. Sebuah krisis yang terjadi pada tahun 1929 sampai 1930, krisis ekonomi global ini berhasil menghidupkan kembali semangat dari kaum-kaum nasionalis, ekspansionis, maupun militer yang sempat mereda setelah perang dunia pertama.

Jepang segera menjalnkan kebijakan ekspansionisnya dengan cara menyerang dan merbut wilayah dari negara lain. Diantara berbagai negara yang ada, pilihan Jepang jatuh kepada Tiongkok, sebuah negara yang saat itu masih terpecah belah dan terlalu sibuk dengan perang saudara. Pada tahun 1931, dengan menggunakan insiden Mukden, Jepang menyerang Tiongkok Utara atau Mancuria. Pada saat itu pasukan Tiongkok yang jumlahnya jauh lebih besar dibandingkan jepang justru mendapat perintah untuk memundurkan diri dan membiarkan wilayahnya jatuh ke tangan Jepang.

Zhang Xue Liang yang merupakan penguasa setempat sadar, sekalipun pasukannya menang jumlah mereka bukanlah tandingan dari pasukan Jepang yang lebih terlatih dan dipersenjatai dengan baik. Chiang Kai Shek, pemimpin dari partai Koumintang yang saat itu paling berkuasa di Tiongkok juga memiliki pemikiran serupa. Ia bahkan mengatakan Jepang hanyalah penyakit kulit, sedangkan komunis adalah penyakit jantung. Menurutnya pemerintah harus berjuang untuk menyatukan negara terlebih dahulu khususnya dengan mengalahka faksi komunis, kemudian negara baru berjuang mengalahkan Jepang.

Tahun 1933, liga bangsa bangsa atau LBB menyatakan Jepang sebagai agresor dalam insiden Mukden. Selain itu LBB juga tidak mengakui pemerintah Manchukua yang adalah negara boneka Jepang. LBB juga menekan Jepang untuk mengembalikan wilayah yang berhasil direbutnya dari Tiongkok. Menghadapi tekanan pihak LBB dan dunia internasional, Jepang meresponsnya dengan cara keluar dari keanggotaan LBB. Jepang merasa LBB yang saat itu dipimpin oleh Inggris dan Prancis berusaha menekan Jepang padahal mereka berdua juga menjajah bangsa lainnya.

Kejadian insiden Mukden membuat Jepang semakin agresif dan berusaha untuk mengulangi kejadian serupa, terlebih ketika Jepang merasa pihak LBB tidak memberikan reaksi yang serius atas berbagai tindakan tersebut selain tidak mengakui wilayah yang berhasil dikuasainya. Tahun 1937 Jepang kembali menggunakan cara lamanya dengan insiden jembatan Marcopolo sebagai alasan untuk menyerang Tiongkok. Uniknya tidak seperti insiden sebelumnya, sang naga yang sudah tertidur selama lebih dari tidurnya, kali ini terbangun dari masa tidurnya untuk bertempur dengan sengit melawan kekaisaran Jepang.