Pengaruh Tiongkok Bagi Kekaisaran Jepang (Part I)

Posted on February 15, 2020 by

Tiongkok adalah negara yang selama ribuan tahun dipimpin dengan sistem monarki atau kekaisaran. Seorang pemimpin memirintah masyarakat dengan mandat surgawi, menurut konsep itu, seorang pemimpin dalam hal ini kaisar dipercayakan oleh penguasa langit untuk memimpin masyarakatnya menuju ke kehidupan yang lebih baik. Sekalipun demikian dipertanyakan setelah Tiongkok mengalami kekalahan melawan Inggris dalam perang Opium pertama yang terjadi pada 1839 hingga 1842.

Tiongkok yang awalnya merupakan negara yang sangat dihormati jatuh pada masa-masa yang dikenal sebagai abad penghinaan. Pada tahun 1850 hingga 1864 keadaan Tiongkok diperburuk oleh serangkaian pemberontakan khususnya yang bernama Tai Ping Tian Guo yang jika diterjemahkan sesuai namanya artinya adalah kerajaan surgawi yang penuh perdamaian. Namun tidak seperti namanya yang penuh perdamaian, keberadaannya justru menyebabkan konflik yang jauh lebih brutal dibandingkan pada masa-masa sebelumnya.

Sekalipun konflik tersebut berhasil dipadamkan oleh pasukan pemerintah, muncul pemeberontakan lain yang tidak kalah serius, yaitu pemberontakan boxer. Pemberontakan boxer adalah pemberontakan yang dijalankan oleh para ahli kungfu, walaupun terdengar sangat keren, para ahli kungfu ini bukan tandingan dari senjata modern yang digunakan oleh pasukan barat. Pada tahun 1911, Tiongkok mengalami revolisi yang dikenal sebagai revolusi Xinhai. Revolusi ini dengan cepat menyebar ke berbagai provinsi lainnya dan pada akhir berhasil memaksa kekaisaran Qing untuk turun tahta.

Revolusi tersebut masih diperingati baik oleh pemerintah RRT maupun oleh permerintah Taiwan atas keberhasilannya dalam mengubah Tiongkok yang awalnya berbentuk Monarki menjadi republik. Hal ini tidak terlepas dari seorang tokoh nasional yang bernama Sun Yat Sen. Ia adalah seorang dokter jenius sekaligus pemimpin politik yang sampai hari ini sangat dihormati baik oleh pemerintah Tiongkok sebagai tokoh revolusi, maupun pemerintah Taiwan sebagai bapak negara.

Tahun 1825, dokter Sun Yat Sen meninggal dunia karena penyakit kanker hati. Kematiannya meninggalkan Tiongkok yang masih terpecah belah dibawah kekuasaan para penguasa regional. Melihat Tiongkok yang masih terpecah belah, militer Jepang berusah mengambil kesempatan dengan kebijakan ekspansionisnya yang bertujuan untuk menguasai sumber daya alam Tiongkok dengan menggunakan pasukan kuantumnya.

Keadaan mulai berubah setelah Partai Kuomintang yang dipimpin oleh Chiang Kai Shek alias penerus dari dokter Sun Yat Sen berhasil menyatukan sebagian besar Tiongkok. Chiang kemudian berusaha mengkonsolidasikan kekuasaannya dengan membersihkan kader-kader yang dicurigai sebagai anggota komunis didalam tubuh Kuomintang. Setelah kebijakan pembersihan tersebut, relasi antara Tiongkok dan Uni Soviet semakin memburuk. Hal ini memaksa Chiang untuk menjalin hubungan baru dengan negara-negara Eropa lainnya khususnya Jerman.

Salah satu hasil diplomasi tersebut adalah kerjasama dibidang militer dimana Jerman bersedia mengirimkan para penasihat militernya untuk memperlengkapi dan melatih pasukan Kuomintang sesuai dengan standard pasukan Jerman. Sebagai imbalannya, Jerman memperoleh akses sumber daya alam murah dari Tiongkok yang sangat dibutuhkannya demi menunjang Jerman pasca perang dunia pertama.

Pada tahun 1937 terjadi insiden jembatan Marcopolo yang menyebabkan Tiongkok dan Jepang secara resmi berperang. Berkat kualitas persenjataan dan pelatihan yang lebih baik, pasukan Jepang berhasil mengalahkan pasukan perbatasan Tiongkok yang serba kekurangan di semua bidang. Hal ini terjadi karena Chiang berusaha menyimpan semua pasukan terbaiknya untuk mengalahkan faksi komunis terlebih dahulu.

Melihat situasi masih berlum berubah, Jepang percaya bahwa tiongkok akan mengambil langkah serupa seperti pada insiden Mukden yaitu menuruti segala tuntutan Jepang dengan memberikan kompensasi berupa wilayah, akses sumber daya dan sebagainya. Bukankah menurut Chiang, musuh utama dari Tiongkok yang paling berbahaya adalah komunis dan bukan militer Jepang.

Namun hal tersebut mulai berubah ketiak seorang perwira Kuomintang bernama zhang XueLiang, kecewa atas kebijakan Kuomintang. Ia merasa pemerintah Kuomintang tidak mempersiapkan militer untuk melawan invasi dari bangsa asing, melainkan justru memerintahkannya sebagai perwira untuk terus mengadakan operasi-operasi militer demi menghancurkan basis-basis dari partai komunis sampai ke akar-akarnya. Bagi Zhang, kebijakan tersebut sama saja seperti memerintahkannya untuk membunuh bangsanya sendiri.

Hal ini disadari oleh Zhou Enlai, anggota dari partai komunis China yang kemudian berusaha memanfaatkan kesempatan untuk mengadakan pertemuan rahasia dengan Zhang dan para pengikutnya yang awalnya merupakan penguasa dari wilayah Manchuria. Zhou Enlai menjelaskan bagaimana kebijakan Kuomintang untuk menghancurkan komunis terlebih dahulu harus membayar sejumlah kompensasi kepada Jepang yang sebenarnya adalah musuh utama dari Tiongkok.

Keduanya kemudian setuju untuk mencari solusi agar Tiongkok bisa bersatu dan melawan invasi dari militer Jepang. Disaat yang sama Chiang juga mulai curiga dengan perwiranya Zhang Xueliang, Ia heran bagaimana mungkin pasukan Zhang yang jauh lebih superior dibandingkan pasukan Komunis belum mampu menghancurkannya. Zhang berdalih pasukan komunis yang sudah terpojok tentu akan memberikan yang lebih sengit lagi dibandingkan masa-masa sebelumnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *